Sabtu, 11 September 2021

 ILMU GIZI

Penyakit Gizi Salah

Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Makanan yang diberikan sehari-hari harus mengandung zat gizi sesuai kebutuhan, sehingga menunjang pertumbuhan yang optimal dan dapat mencegah penyakitpenyakit defisiensi, mencegah keracunan, dan juga membantu mencegah timbulnya penyakit-penyakit yang dapat mengganggu kelangsungan hidup (Hidayanti, Riyanto, and Rahma 2015)

Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Makanannya diberi nutrisi harian harus mengandung sesuai kebutuhan, sehingga mendukung pertumbuhan yang optimal dan dapat mencegah penyakit defisiensi, mencegah keracunan, dan juga membantu mencegah penyakit yang dapat mengganggu kelangsungan hidup.

Gizi adalah faktor penting dalam pemelihaan kesehatan yang baik dan dapat menjadi kontributor dalam risiko terbentuknya penyakit kronis. Penyakit gizi salah atau malnutrisi saat ini menjadi salah satu tantangan pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Malnutrisi sendiri dapat dideskripsikan sebagai kondisi keseluruhan dari status gizi yang buruk, baik undernutrition atau overnutrition dari makronutrien dan mikronuteien (Andi Eka Yunianto, Sanya Anda Lusiana et al. 2021).

1.      Marasmus

Marasmus adalah salah satu jenis gizi buruk akut akibat kekurangan energi dari karbohidrat yang ditandai dengan muscular wasting. Marasmus dapat terjadi karena adanya ketidakcukupan asupan makan yang berlangsung terus menerus dalam rentang waktu bulan dan tahun. Hal ini berdampak pada respon adaptif fisiologi tubuh terhadap kondisi kelaparan sebagi mekanisme pertahanan terhadap kekurangan energi. Marasmus biasa dikarakteristikkan sebagai pembongkaran jaringan tubuh besar-besaran sehingga terjadi penurunan massa otot dan jaringan lemak yang biasa disebut sebagai wasting, dan biasanya akan berujung pada penurunan kemampuan mengasup makanan karena ketidakmampuan organ pencernaan melakukan metabolisme dengan baik.

Gambar 1 : : Karakteristik Anak Marasmus (https://arali2008.wordpress.com/2011/07/16/masalah-gizi-buruk-dan-tanda[1]tanda-klinisnya/)

Anak marasmus biasanya akan terlihat sangat kurus kering, lemah dan letargis, terkadang juga disertai dengan bradikardia, hipotensi, dan hipotermia. Kulit anak mengalami xerosis (kering dan mudah rusak), terlihat seperti orang tua dengan kerutan, dan terlihat hanya seperti tulang berbalut kulit karena kehilangan masa otot dan lemak subkutan. Muskular wasting biasanya mulai terlihat pada bagian axilla (lengan atas) dan groin (pangkal paha). Pada tahap awal atau grade 1 biasanya belum terlalu terlihat tanda dari luar, namun mulai terlihat kurus. Pada tahap kedua atau grade 2 muscular wasting biasanya mengarah pada bagian paha dan pantat yang seringkali disebut dengan baggy pants. Pada grade 3 muscular wasting akan mengarah pada perut dan dada di mana mulai akan terlihat tulang dada. Pada tahap akhir atau grade 4 muscular wasting mengarah pada bagian wajah sehingga menyebabkan mata cowong, muka terlihat tua, dan terlihat berkeriput. Selain penampakan fisik, pada anak dengan kondisi marasmus parah seringkali menjadi apatis, mudah marah, sensitif secara emosional, dan sulit dikendalikan.

Asupan energi terutama dari karbohidrat yang tidak adekuat akan membawa pada sejumlah adaptasi fisiologis, termasuk pembatasan pertumbuhan, penurunan massa lemak, otot, dan viseral, penurunan basal metabolic rate, dan penurunan total energy expenditure. Perubahan biokimia pada marasmus meliputi perubahan metabolik, hormonal, dan mekanisme glukoregulatori. Hormon yang paling terpengaruh aedalah hormone tiroid, insulin, dan growth hormone (GH).

2.      Obesitas

Obesitas merupakan suatu keadaan dimana terjadi penumpukan lemak berlebih di dalam tubuh. Obesitas diketahui menjadi salah satu faktor risiko munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan stroke, penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab kematian terbesar penduduk dunia, terutama pada kelompok usia lanjut. Selain penyakit tersebut, obesitas pada lansia juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan pada tulang dan sendi sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya jatuh atau kecelakaan. Obesitas sentral juga berkaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit degeneratif dimana obesitas sentral ini merupakan penumpukan lemak di perut yang diukur dengan menggunakan indikator lingkar perut. Lemak viseral merupakan lemak tubuh yang terkumpul di bagian sentral tubuh dan melingkupi organ internal. Kelebihan lemak viseral berhubungan erat dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler8, sindrom metabolic (hipertensi, dislipidemia, dan diabetes tipe II), dan resistensi insulin. Suatu penelitian menyatakan bahwa seseorang yang mengalami obesitas cenderung memiliki lemak viseral tubuh yang berlebih (Sofa 2018).

Pengukuran obesitas biasanya dilakukan dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) di mana berat badan dalam kg dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Untuk orang asia apabila angkanya berada di angka 25 kg/m2 keatas, maka dapat dikategorikan sebagai obesitas. Indeks massa tubuh memiliki korelasi dengan persentase lemak dalam tubuh.

Tabel 1: Klasifikasi Indeks Massa Tubuh

Klasifikasi

IMT

BB kurang

<18.5

Kisaran Normal

18.5 - 22.9

BB lebih

≥23

Beresiko

23 - 24.9

Obesitas I

25 – 29.9

Obesitas II

≥30

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas di antaranya yaitu tingkat pendidikan dan pekerjaan, asupan makanan, stress, aktivitas fisik, jenis kelamin serta usia. Berdasarkan penelitian analisis lanjutan data Riskesdas 2007 di Jakarta, faktor risiko obesitas sentral di antaranya yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan per kapita, makanan berlemak, dan gangguan mental. Lemak viseral dapat juga mempengaruhi besar lingkar perut sehingga semakin tinggi persen lemak viseral akan semakin meningkatkan risiko mengalami obesitas sentral.

3.      Sindroma Metabolik

Sindroma metabolik adalah kumpulan faktor risiko yang menjadi pencetus terjadinya penyakit kardiovaskuler atherosclerosis dan diabeter mellitus tipe 2. Adapun sindroma metabolik terdiri dari lima faktor di antaranya terjadinya dislipidemia atherogenik, peningkatan tekanan darah, disglikemia, kondisi pro trombotik, dan kondisi pro inflamatori. Kejadian sindorma metabolik paling sering terjadi pada kondisi obesitas. Salah satu tanda sindroma metabolik adalah obesitas sentral yang ditandai dengan peningkatan lingkar pinggang lebih dari 102 cm pada laki-laki dan lebih dari 88 cm pada perempuan. Orang dengan obesitas sentral memiliki massa lemak yang lebih tinggi pada daerah intraperitoneal (lemak visceral) dan subkutan. Peningkatan massa lemak visceral dan subkutan (lemak ektopik) berkaitan erat dengan tingginya asam lemak non ester pada plasma dan kejadian resisten insulin. Kejadian obesitas juga berkorelasi dengan tingginya kadar trigliserida dalam darah.

Tanda sindroma metabolik kedua adalah adanya peningkatan trigliserida lebih dari 150 mg/dL (1,7 mmol/L) dan penurunan HDL-C kurang dari 40 mg/dL (1,0 mmol/L) pada laki-laki dan < 50 mg/dL (1,3 mmol/L pada perempuan. Kedua biomarker ini menjadi penanda terjadinya dislipidemia aterogenik. Tanda lain yang juga bisa menandakan sindroma metabolik adalah tingginya kadar lipoprotein Apo B yang menjadi penyebab utama terbentuknya atherosklerosis yang berujung pada penyakit kardiovaskuler.

Peningkatan tekanan darah juga menjadi komponen dari sindroma metabolik. Adapun batas dikatakan tinggi apabila tekanan darah sistolik lebih dari 130 dan diastolik lebih dari 85 mmHg atau dapat juga tekanan darah dikatakan tinggi apabila ada riwayat penggunaan obat anti hipertensi. Tekanan darah tinggi bisa berkaitan dengan kejadian obesitas dan peningkatan reabsorpsi natrium di ginjal sebagai akbiat dari resisten insulin. Selain itu peningkatan tekanan darah dapat terjadi karena peningkatan volume intravaskuler, aktivasi sisten renin angiotensin aldosteron, dan sistem saraf simpatis, pelepasan angiotensin dari jaringan adiposa, serta resistensi insulin.

Penanganan metabolik sindrom pada umumnya hampir sama dengan penanganan pada obesitas yakni melakukan perubahan gaya hidup seperti restriksi kalori, meningkatkan kualitas makanan, dan meningkatkan aktivitas fisik. Disamping itu diperlukan penanganan pada dislipidemia aterogenik, pengkontrolan tekanan darah, manajemen hiperglikemia, dan penurunan kondisi pro trombotik.

4.      Diabetes Melitus

Diabetes mellitus adalah salah satu kelompok penyakit metabolik yang dikarakteristikkan dengan tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) dan disebabkan karena insufisiensi atau resistensi insulin total atau sebagian. Dampak dari diabetes melitus akibat hiperglikemia yang tidak terkontrol sangat beragam mulai dari komplikasi mikrovaskular seperti diabetes retinopati, atau makrovaskular seperti stroke, infark miokard, dan sebagainya. Diabetes melitus bersifat irreversibel, atau tidak dapat disembuhkan. Yang dapat dilakukan oleh pasien yang menderita diabetes melitus adalah memperlambat progresivitasnya supaya tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan. Diabetes sendiri dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan di antaranya diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes gestasional, atau diabetes tipe lainnya. Diabetes tipe 1 biasanya mulai terjadi pada anak-anak di mana terjadi kerusakan sel beta pankreas yang utamanya terjadi akibat mekanisme inflamasi autoimun (Andi Eka Yunianto, Sanya Anda Lusiana et al. 2021)

Tingginya prevalensi Diabetes Melitus tipe 2disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh, lingkar pinggang dan umur. Diabetes Mellitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang akan ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung, sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk atau gangren, infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya (Bhatt, Saklani, and Upadhayay 2016).

Diabetes tipe 2 berbeda dengan tipe 1 di mana biasanya terjadi pada golongan dewasa hingga lanjuut usia yang merupakan imbas dari hiperglikemia yang tidak terkontrol akibat kelainan metabolisme yang menyebabkan disfungsi sel beta pankreas dan menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin dapat disebabkan oleh banyak hal di antaranya hipertensi, obesitas, sindrom ovarium polikistik (PCOS), dan lainnya. Diabetes melitus memiliki gejala yang hampir sama pada kedua tipe utama yakni terjadinya kehilangan berat badan yang signifikan, poliuria (banyak buang air kecil), polidipsi (banyak minum), polifagi (banyak makan), konstipasi, mudah lelah, mudah kram otot, pandangan kabur, dan kadang beberapa orang mengalami kandidiasis. manajemen diabetes melitus adalah pencegahan keparahan penyakit sehingga memperlambat terjadinya komplikasi jangka panjang dengan kontrol hiperglikemia. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah memonitor kadar gula darah secara berkala dan memeriksakan HbA1C secara berkala setiap 6 bulan. Memonitor kadar gula darah penting karena jika terjadi hipoglikemi maka akan menyebabkan penurunan kesadarkan, kelemahan, dan meningkatkan risiko kerusakan otak. Untuk itu perlu diperhatikan kadar gula darah berada pada rentang yang tepat (Andi Eka Yunianto, Sanya Anda Lusiana et al. 2021).

 

 

Daftar Pustaka :

Andi Eka Yunianto, Sanya Anda Lusiana, Nining Tyas Triatmaja, Windi Indah Fajar Ningsih Suryana, Nurul Utami, Wilda Yunieswati, Fatmalina Febry Rosmauli Jerimia Fitriani, Niken Bayu Argaheni, and Anwar Lubi Amalina Ratih Puspa, Dominikus Raditya Atmaka. 2021. Ilmu Gizi Dasar. 1st ed. ed. Janner Simarmata Alex Rikki. Medan: Yayasan Kita Menulis.

Bhatt, Hemlata, Sarla Saklani, and Kumud Upadhayay. 2016. “Anti-Oxidant and Anti-Diabetic Activities of Ethanolic Extract of Primula Denticulata Flowers.” Indonesian Journal of Pharmacy 27(2): 74–79.

Hidayanti, Rahmi Noerdiana, Sugeng Riyanto, and Alfia Rahma. 2015. “Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Infeksi Kecacingan Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar Tahun 2015.” Jurkessia 6(1): 26–31.

Sofa, Ira Maya. 2018. “Kejadian Obesitas, Obesitas Sentral, Dan Kelebihan Lemak Viseral Pada Lansia Wanita.” Amerta Nutrition 2(3): 228.

 

Jumat, 12 April 2019

PSIKOLOGI GIZI

Psikologi Gizi

Psikologi Gizi merupakan cabang dari ilmu psikologi yang mengkaji kaitan antara faktor psikologis dengan gizi, tidak terlepas dari konteks biologis, sosial, dan budaya yang terikat pada setiap individu. yang membahas dari sisi psikologis terkait pemilihan makanan, diet makanan dan untuk menemukan spektrum-spektrum perilaku makan, dari perilaku makan sehat sampai adanya body dissatisfaction.

Di dalam otak kita, Perilaku sehari-hari ternyata berhubungan dengan kerja otak. Otak manusia yang mengatur kecerdasan dan emosi. Perilaku makan merupakan interaksi antara panca indera, sistem saluran pencernaan dan otak. Otak sebagai sistem saraf pusat akan bekerja sama dengan saluran pencernaan dalam proses makan tersebut.
Tidak hanya dalam hal perilaku makan, ternyata perubahan emosi manusia berhubungan dengan aktivitas otak. Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat saat ini terus mengembangkan hubungan antara emosi dengan gambaran otak manusia, baik melalui produksi zat-zat kimia yang dihasilkan oleh otak dalam keadaan sedih, marah, panik ataupun cemas, atau perubahan kadar hormon tertentu yang dihasilkan tubuh sesuai dengan perkembangan emosi kita. Daerah otak yang disebut hippocampus dan amygdala berperan dalam pengaturan emosi kita. 
• Pengaruh Psikologis, dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, pola asuh masa dini, mood, dan stres.
• Pengaruh Biologis, berhubungan dengan aspek fisiologis terutama  hormonal dalam tubuh yang merangsang kondisi lapar dan kenyang. 
• Pengaruh Budaya, berhubungan dengan agama, suku, dan adat.
• Pengaruh Sosial, berhubungan dengan proses pembelajaran sosial, associative learning, media, dan iklan. 

Hubungan nya dengan psikologi sangat erat karena di dalam otak kita ada jiwa.

Efek lapar terhadap makan dan Moods;
Umumnya makanan mengubah suasana hati dan dorongan dalam diri, hal ini terjadi sebelum hingga setelah proses makan. Manusia cenderung lebih waspada dan mudah tersinggung saat merasa lapar sehingga mendorong perilaku mencari makanan. Kinerja mental manusia bisa terganggu oleh kebutuhan ini sehingga merugikan perilaku lainnya. Setelah makan makanan yang mengenyangkan, manusia biasanya menjadi tenang, lesu, bahkan mengantuk.
Penyerapan nutrisi cepat terdeteksi oleh otak, karena informasi disampaikan oleh saraf vagus dari usus dan hati. Ketika mood dan konteks makan diacak sebanyak sepuluh kali sehari selama seminggu, dapat disimpulkan bahwa makanan lebih cenderung menghasilkan mood yang positif daripada suasana hati netral atau negatif (Macht et al., 2004), setidaknya dalam jangka waktu singkat.Meski demikian, fenomena ini dapat diabaikan dan dapat bervariasi antar individu dan situasi. Dampak makanan atau minuman akan tergantung pada keadaan awal, ekspektasi dan sikap seseorang. 

Bahkan sangat menarik sekali bahwa  Rasa manis menimbulkan sensasi menyenangkan, sedangkan rasa pahit dan asam menimbulkan sensasi yang tidak enak. Ekspektasi tentang makanan merupakan prediksi personal dari konsekuensi makan yang bergantung pada pengalaman terhadap makanan tersebut dalam berbagai konteks.Ekspektasi tersebut tidak hanya dalam pikiran, namun juga memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku dan fisiologi.Peningkatan mood negatif yang lebih kuat terlihat pada wanita yang melaporkan kecenderungan makan yang lebih besar sebagai respons terhadap keadaan emosional. Hal ini menyiratkan bahwa efek penguat makanan pada keadaan emosional sebelumnya harus terjadi selama proses makan daripada setelah makan. Hal ini serupa dengan temuan bahwa para pecandu cokelat (chocolate addicts) merasa lebih bersalah setelah memakan cokelat (Macdiarmic and Hetherington, 1995).Para pecandu cokelat melaporkan penurunan positif dan pengaruh negatif yang lebih tinggi sebelum makan. 


Substansi neuro yang terbukti berpengaruh terhadap makanan adalah dopamin, opioid, dan benzodiazepine. Dopamine memiliki prinsip yang mendasari aspek motivasional dari makan, dimana sistem opioid dan benzodiazepine memengaruhi munculnya rangsangan sensor makanan. Opioid memiliki neuropeptide yang dikeluarkan saat stress, yang dikenal memiliki efek adaptif seperti anti rasa sakit. Bukti dalam penggunaan Opioid adalah interaksi antar mood, stres dan makan, yang melibatkan anak-anak, pencernaan makanan manis dan berlemak, termasuk susu, dan berkurangnya frekuensi anak menangis serta kebiasaan lain yang menunjukan stres. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa orang dewasa lebih memilih makanan manis, berlemak dan makanan yang disukai untuk mediasi opioid sebagai penghilang stres. 


Senin, 08 April 2019

Kenali Perbedaan Marasmus, dan kwashiorkor

Marasmus dan Kwashiorkor

Kwashiorkor dan marasmus adalah dua contoh penyakit akibat gizi buruk (malnutrisi) yang sering kita kenal sebagai busung lapar. Meskipun keduanya hampir sama, namun kita perlu tahu bagaimana membedakan kedua kondisi tersebut satu sama lain. Dapat terjadi bila intake energi dari makanan < energi yang dikeluarkan tubuh keseimbanganenergi (-). Akibatnya terjadi penurunan berat badan. Bila terjadi keseimbangan energi negatif pada bayi dan anak-anak dalam jangka panjang dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan rentan terhadap penyakit infeksi, sedangkan pada orang dewasa yang sudah tidak mengalami pertumbuhan, penurunan BB yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan terganggunya fungsi tubuh. Pada tahap berat bayi dan anak-anak menderita marasmus dan bila disertai kekurangan protein disebut kwashiorkor. 


Lantas apa perbedaannya ..?

Ada beberapa perbedaan, antara Marasmus dan Kwashiorkor :

Marasmus
Marasmus adalah salah satu bentuk kekurangan gizi yang buruk paling sering ditemui pada balita penyebabnya antara lain karena masukan makanan yang sangat kurang, infeksi, pembawaan lahir, prematuritas, penyakit pada masa neonatus serta kesehatan lingkungan.
Ataupun Marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan kilokalori yang krinis. Karakteristik dari Marasmus adalah berat badan sangat rendah 

Gejala Marasmus pada umumnya:
• Kurus kering
• tampak hanya tulang dan kulit
• otot dan lemak bawah kulit atropo (mengecil)
• Berkerut atau keriput
• layu dan kering
• Diare umum terjadi



Kwashiorkor
Keadaan gizi buruk, dan pola menyusu menyangkut budaya. Kwashiorkor adalah istilah pertama dari Afrika, artinya sindroma perkembangan anak dimana anak teesebut di sapih tidak mendapatkan ASI sesudah satu tahun karena menanti kelahiran anak beru lagi. Makanan pengganti ASI sebagian besar terdiri dari pati atau air gula, tetapi kurang protein baik kualitas dan kuantitas.


Gejala kwashiorkor
Gejala umum kwashiorkor adalah;
• pertumbuhan dan mental mundur 
• perkembangan mental apatis 
• edema 
• otot menyusut (kurus)
• depigmentasi rambut dan kulit
• karakteristik di kulit: timbul sisik, gejala itu di sebut dengan flaky paint dermatosis
• hipoalbuminemia, infliltrasi lemak dan hati yang reversibel
• atropi dan kelenjar acini dari pankreas sehingga produksi enzim untuk merangsang aktivitas enzim untuk mengeluarkan juice doudenum terhambat, diare
• anemia moderat ( selalu bentuk normokhromik, tetapi sering kali bentuk makrositik)
• masalah diare dan infeksi menjadi komponen gejala klinis
• menderita kekurangan vitamin A, di hasilkan karena ketidakcukupan sintesis plasma protein pengikat retinol sehingga seringkali timbul gejala kebutaan yang tetep atau permanen


  ILMU GIZI Penyakit Gizi Salah Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Makanan yang diberikan sehari-hari harus...