ILMU GIZI
Penyakit Gizi Salah
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Makanan yang diberikan sehari-hari harus mengandung zat gizi sesuai kebutuhan, sehingga menunjang pertumbuhan yang optimal dan dapat mencegah penyakitpenyakit defisiensi, mencegah keracunan, dan juga membantu mencegah timbulnya penyakit-penyakit yang dapat mengganggu kelangsungan hidup (Hidayanti, Riyanto, and Rahma 2015)
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Makanannya diberi nutrisi harian harus mengandung sesuai kebutuhan, sehingga mendukung pertumbuhan yang optimal dan dapat mencegah penyakit defisiensi, mencegah keracunan, dan juga membantu mencegah penyakit yang dapat mengganggu kelangsungan hidup.
Gizi adalah faktor penting dalam pemelihaan kesehatan yang baik dan
dapat menjadi kontributor dalam risiko terbentuknya penyakit kronis. Penyakit
gizi salah atau malnutrisi saat ini menjadi salah satu tantangan pelayanan
kesehatan di seluruh dunia. Malnutrisi sendiri dapat dideskripsikan sebagai
kondisi keseluruhan dari status gizi yang buruk, baik undernutrition atau
overnutrition dari makronutrien dan mikronuteien (Andi Eka Yunianto, Sanya Anda
Lusiana et al. 2021).
1.
Marasmus
Marasmus adalah salah satu jenis gizi buruk akut akibat kekurangan
energi dari karbohidrat yang ditandai dengan muscular wasting. Marasmus dapat
terjadi karena adanya ketidakcukupan asupan makan yang berlangsung terus
menerus dalam rentang waktu bulan dan tahun. Hal ini berdampak pada respon
adaptif fisiologi tubuh terhadap kondisi kelaparan sebagi mekanisme pertahanan
terhadap kekurangan energi. Marasmus biasa dikarakteristikkan sebagai
pembongkaran jaringan tubuh besar-besaran sehingga terjadi penurunan massa otot
dan jaringan lemak yang biasa disebut sebagai wasting, dan biasanya akan
berujung pada penurunan kemampuan mengasup makanan karena ketidakmampuan organ
pencernaan melakukan metabolisme dengan baik.
Gambar 1 : : Karakteristik Anak Marasmus (https://arali2008.wordpress.com/2011/07/16/masalah-gizi-buruk-dan-tanda[1]tanda-klinisnya/)
Anak marasmus biasanya akan terlihat sangat kurus kering, lemah dan
letargis, terkadang juga disertai dengan bradikardia, hipotensi, dan
hipotermia. Kulit anak mengalami xerosis (kering dan mudah rusak), terlihat
seperti orang tua dengan kerutan, dan terlihat hanya seperti tulang berbalut
kulit karena kehilangan masa otot dan lemak subkutan. Muskular wasting biasanya
mulai terlihat pada bagian axilla (lengan atas) dan groin (pangkal paha). Pada
tahap awal atau grade 1 biasanya belum terlalu terlihat tanda dari luar, namun
mulai terlihat kurus. Pada tahap kedua atau grade 2 muscular wasting biasanya
mengarah pada bagian paha dan pantat yang seringkali disebut dengan baggy
pants. Pada grade 3 muscular wasting akan mengarah pada perut dan dada di mana
mulai akan terlihat tulang dada. Pada tahap akhir atau grade 4 muscular wasting
mengarah pada bagian wajah sehingga menyebabkan mata cowong, muka terlihat tua,
dan terlihat berkeriput. Selain penampakan fisik, pada anak dengan kondisi
marasmus parah seringkali menjadi apatis, mudah marah, sensitif secara
emosional, dan sulit dikendalikan.
Asupan energi terutama dari karbohidrat yang tidak adekuat akan
membawa pada sejumlah adaptasi fisiologis, termasuk pembatasan pertumbuhan,
penurunan massa lemak, otot, dan viseral, penurunan basal metabolic rate, dan
penurunan total energy expenditure. Perubahan biokimia pada marasmus meliputi
perubahan metabolik, hormonal, dan mekanisme glukoregulatori. Hormon yang
paling terpengaruh aedalah hormone tiroid, insulin, dan growth hormone (GH).
2.
Obesitas
Obesitas merupakan suatu keadaan dimana terjadi penumpukan lemak berlebih di dalam tubuh. Obesitas diketahui menjadi salah satu faktor risiko munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan stroke, penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab kematian terbesar penduduk dunia, terutama pada kelompok usia lanjut. Selain penyakit tersebut, obesitas pada lansia juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan pada tulang dan sendi sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya jatuh atau kecelakaan. Obesitas sentral juga berkaitan erat dengan peningkatan risiko penyakit degeneratif dimana obesitas sentral ini merupakan penumpukan lemak di perut yang diukur dengan menggunakan indikator lingkar perut. Lemak viseral merupakan lemak tubuh yang terkumpul di bagian sentral tubuh dan melingkupi organ internal. Kelebihan lemak viseral berhubungan erat dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler8, sindrom metabolic (hipertensi, dislipidemia, dan diabetes tipe II), dan resistensi insulin. Suatu penelitian menyatakan bahwa seseorang yang mengalami obesitas cenderung memiliki lemak viseral tubuh yang berlebih (Sofa 2018).
Pengukuran obesitas biasanya dilakukan dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) di mana berat badan dalam kg dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat. Untuk orang asia apabila angkanya berada di angka 25 kg/m2 keatas, maka dapat dikategorikan sebagai obesitas. Indeks massa tubuh memiliki korelasi dengan persentase lemak dalam tubuh.
Tabel 1: Klasifikasi Indeks Massa Tubuh
Klasifikasi |
IMT |
BB kurang |
<18.5 |
Kisaran Normal |
18.5 - 22.9 |
BB lebih |
≥23 |
Beresiko |
23 - 24.9 |
Obesitas I |
25
– 29.9 |
Obesitas II |
≥30 |
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian obesitas di
antaranya yaitu tingkat pendidikan dan pekerjaan, asupan makanan, stress,
aktivitas fisik, jenis kelamin serta usia. Berdasarkan penelitian analisis
lanjutan data Riskesdas 2007 di Jakarta, faktor risiko obesitas sentral di
antaranya yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pendapatan per
kapita, makanan berlemak, dan gangguan mental. Lemak viseral dapat juga
mempengaruhi besar lingkar perut sehingga semakin tinggi persen lemak viseral
akan semakin meningkatkan risiko mengalami obesitas sentral.
3.
Sindroma Metabolik
Sindroma metabolik adalah kumpulan faktor risiko yang menjadi
pencetus terjadinya penyakit kardiovaskuler atherosclerosis dan diabeter
mellitus tipe 2. Adapun sindroma metabolik terdiri dari lima faktor di
antaranya terjadinya dislipidemia atherogenik, peningkatan tekanan darah,
disglikemia, kondisi pro trombotik, dan kondisi pro inflamatori. Kejadian
sindorma metabolik paling sering terjadi pada kondisi obesitas. Salah satu
tanda sindroma metabolik adalah obesitas sentral yang ditandai dengan
peningkatan lingkar pinggang lebih dari 102 cm pada laki-laki dan lebih dari 88
cm pada perempuan. Orang dengan obesitas sentral memiliki massa lemak yang
lebih tinggi pada daerah intraperitoneal (lemak visceral) dan subkutan.
Peningkatan massa lemak visceral dan subkutan (lemak ektopik) berkaitan erat
dengan tingginya asam lemak non ester pada plasma dan kejadian resisten
insulin. Kejadian obesitas juga berkorelasi dengan tingginya kadar trigliserida
dalam darah.
Tanda sindroma metabolik kedua adalah adanya peningkatan
trigliserida lebih dari 150 mg/dL (1,7 mmol/L) dan penurunan HDL-C kurang dari
40 mg/dL (1,0 mmol/L) pada laki-laki dan < 50 mg/dL (1,3 mmol/L pada
perempuan. Kedua biomarker ini menjadi penanda terjadinya dislipidemia
aterogenik. Tanda lain yang juga bisa menandakan sindroma metabolik adalah
tingginya kadar lipoprotein Apo B yang menjadi penyebab utama terbentuknya
atherosklerosis yang berujung pada penyakit kardiovaskuler.
Peningkatan tekanan darah juga menjadi komponen dari sindroma
metabolik. Adapun batas dikatakan tinggi apabila tekanan darah sistolik lebih
dari 130 dan diastolik lebih dari 85 mmHg atau dapat juga tekanan darah
dikatakan tinggi apabila ada riwayat penggunaan obat anti hipertensi. Tekanan
darah tinggi bisa berkaitan dengan kejadian obesitas dan peningkatan reabsorpsi
natrium di ginjal sebagai akbiat dari resisten insulin. Selain itu peningkatan
tekanan darah dapat terjadi karena peningkatan volume intravaskuler, aktivasi
sisten renin angiotensin aldosteron, dan sistem saraf simpatis, pelepasan
angiotensin dari jaringan adiposa, serta resistensi insulin.
Penanganan metabolik sindrom pada umumnya hampir sama dengan
penanganan pada obesitas yakni melakukan perubahan gaya hidup seperti restriksi
kalori, meningkatkan kualitas makanan, dan meningkatkan aktivitas fisik.
Disamping itu diperlukan penanganan pada dislipidemia aterogenik, pengkontrolan
tekanan darah, manajemen hiperglikemia, dan penurunan kondisi pro trombotik.
4.
Diabetes Melitus
Diabetes mellitus adalah salah satu kelompok penyakit metabolik
yang dikarakteristikkan dengan tingginya kadar gula darah (hiperglikemia) dan
disebabkan karena insufisiensi atau resistensi insulin total atau sebagian.
Dampak dari diabetes melitus akibat hiperglikemia yang tidak terkontrol sangat
beragam mulai dari komplikasi mikrovaskular seperti diabetes retinopati, atau
makrovaskular seperti stroke, infark miokard, dan sebagainya. Diabetes melitus
bersifat irreversibel, atau tidak dapat disembuhkan. Yang dapat dilakukan oleh
pasien yang menderita diabetes melitus adalah memperlambat progresivitasnya
supaya tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan. Diabetes sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa golongan di antaranya diabetes tipe 1,
diabetes tipe 2, diabetes gestasional, atau diabetes tipe lainnya. Diabetes
tipe 1 biasanya mulai terjadi pada anak-anak di mana terjadi kerusakan sel beta
pankreas yang utamanya terjadi akibat mekanisme inflamasi autoimun (Andi Eka Yunianto, Sanya Anda
Lusiana et al. 2021)
Tingginya prevalensi Diabetes Melitus tipe 2disebabkan oleh faktor
risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor
genetik yang kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan
merokok tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol, Indeks Masa Tubuh, lingkar pinggang dan umur. Diabetes
Mellitus disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit yang akan
ditimbulkan antara lain gangguan penglihatan mata, katarak, penyakit jantung,
sakit ginjal, impotensi seksual, luka sulit sembuh dan membusuk atau gangren,
infeksi paru-paru, gangguan pembuluh darah, stroke dan sebagainya (Bhatt, Saklani, and Upadhayay 2016).
Diabetes tipe 2 berbeda dengan tipe 1 di mana biasanya terjadi pada
golongan dewasa hingga lanjuut usia yang merupakan imbas dari hiperglikemia
yang tidak terkontrol akibat kelainan metabolisme yang menyebabkan disfungsi
sel beta pankreas dan menyebabkan resistensi insulin. Resistensi insulin dapat
disebabkan oleh banyak hal di antaranya hipertensi, obesitas, sindrom ovarium
polikistik (PCOS), dan lainnya. Diabetes melitus memiliki gejala yang hampir
sama pada kedua tipe utama yakni terjadinya kehilangan berat badan yang
signifikan, poliuria (banyak buang air kecil), polidipsi (banyak minum),
polifagi (banyak makan), konstipasi, mudah lelah, mudah kram otot, pandangan
kabur, dan kadang beberapa orang mengalami kandidiasis. manajemen diabetes
melitus adalah pencegahan keparahan penyakit sehingga memperlambat terjadinya
komplikasi jangka panjang dengan kontrol hiperglikemia. Hal pertama yang perlu
dilakukan adalah memonitor kadar gula darah secara berkala dan memeriksakan
HbA1C secara berkala setiap 6 bulan. Memonitor kadar gula darah penting karena
jika terjadi hipoglikemi maka akan menyebabkan penurunan kesadarkan, kelemahan,
dan meningkatkan risiko kerusakan otak. Untuk itu perlu diperhatikan kadar gula
darah berada pada rentang yang tepat (Andi Eka Yunianto, Sanya Anda
Lusiana et al. 2021).
Daftar Pustaka :
Andi
Eka Yunianto, Sanya Anda Lusiana, Nining Tyas Triatmaja, Windi Indah Fajar
Ningsih Suryana, Nurul Utami, Wilda Yunieswati, Fatmalina Febry Rosmauli
Jerimia Fitriani, Niken Bayu Argaheni, and Anwar Lubi Amalina Ratih Puspa,
Dominikus Raditya Atmaka. 2021. Ilmu Gizi Dasar. 1st ed. ed. Janner
Simarmata Alex Rikki. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Bhatt,
Hemlata, Sarla Saklani, and Kumud Upadhayay. 2016. “Anti-Oxidant and
Anti-Diabetic Activities of Ethanolic Extract of Primula Denticulata Flowers.” Indonesian
Journal of Pharmacy 27(2): 74–79.
Hidayanti,
Rahmi Noerdiana, Sugeng Riyanto, and Alfia Rahma. 2015. “Hubungan Pengetahuan
Ibu Tentang Infeksi Kecacingan Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja
Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar Tahun 2015.” Jurkessia 6(1): 26–31.
Sofa,
Ira Maya. 2018. “Kejadian Obesitas, Obesitas Sentral, Dan Kelebihan Lemak
Viseral Pada Lansia Wanita.” Amerta Nutrition 2(3): 228.