Psikologi Gizi
Psikologi Gizi merupakan cabang dari ilmu psikologi yang mengkaji kaitan antara faktor psikologis dengan gizi, tidak terlepas dari konteks biologis, sosial, dan budaya yang terikat pada setiap individu. yang membahas dari sisi psikologis terkait pemilihan makanan, diet makanan dan untuk menemukan spektrum-spektrum perilaku makan, dari perilaku makan sehat sampai adanya body dissatisfaction.
Di dalam otak kita, Perilaku sehari-hari ternyata berhubungan dengan kerja otak. Otak manusia yang mengatur kecerdasan dan emosi. Perilaku makan merupakan interaksi antara panca indera, sistem saluran pencernaan dan otak. Otak sebagai sistem saraf pusat akan bekerja sama dengan saluran pencernaan dalam proses makan tersebut.
Tidak hanya dalam hal perilaku makan, ternyata perubahan emosi manusia berhubungan dengan aktivitas otak. Ilmu pengetahuan yang berkembang pesat saat ini terus mengembangkan hubungan antara emosi dengan gambaran otak manusia, baik melalui produksi zat-zat kimia yang dihasilkan oleh otak dalam keadaan sedih, marah, panik ataupun cemas, atau perubahan kadar hormon tertentu yang dihasilkan tubuh sesuai dengan perkembangan emosi kita. Daerah otak yang disebut hippocampus dan amygdala berperan dalam pengaturan emosi kita.
• Pengaruh Psikologis, dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, pola asuh masa dini, mood, dan stres.
• Pengaruh Biologis, berhubungan dengan aspek fisiologis terutama hormonal dalam tubuh yang merangsang kondisi lapar dan kenyang.
• Pengaruh Budaya, berhubungan dengan agama, suku, dan adat.
• Pengaruh Sosial, berhubungan dengan proses pembelajaran sosial, associative learning, media, dan iklan.
Hubungan nya dengan psikologi sangat erat karena di dalam otak kita ada jiwa.
Efek lapar terhadap makan dan Moods;
Umumnya makanan mengubah suasana hati dan dorongan dalam diri, hal ini terjadi sebelum hingga setelah proses makan. Manusia cenderung lebih waspada dan mudah tersinggung saat merasa lapar sehingga mendorong perilaku mencari makanan. Kinerja mental manusia bisa terganggu oleh kebutuhan ini sehingga merugikan perilaku lainnya. Setelah makan makanan yang mengenyangkan, manusia biasanya menjadi tenang, lesu, bahkan mengantuk.
Penyerapan nutrisi cepat terdeteksi oleh otak, karena informasi disampaikan oleh saraf vagus dari usus dan hati. Ketika mood dan konteks makan diacak sebanyak sepuluh kali sehari selama seminggu, dapat disimpulkan bahwa makanan lebih cenderung menghasilkan mood yang positif daripada suasana hati netral atau negatif (Macht et al., 2004), setidaknya dalam jangka waktu singkat.Meski demikian, fenomena ini dapat diabaikan dan dapat bervariasi antar individu dan situasi. Dampak makanan atau minuman akan tergantung pada keadaan awal, ekspektasi dan sikap seseorang.
Bahkan sangat menarik sekali bahwa Rasa manis menimbulkan sensasi menyenangkan, sedangkan rasa pahit dan asam menimbulkan sensasi yang tidak enak. Ekspektasi tentang makanan merupakan prediksi personal dari konsekuensi makan yang bergantung pada pengalaman terhadap makanan tersebut dalam berbagai konteks.Ekspektasi tersebut tidak hanya dalam pikiran, namun juga memiliki pengaruh nyata terhadap perilaku dan fisiologi.Peningkatan mood negatif yang lebih kuat terlihat pada wanita yang melaporkan kecenderungan makan yang lebih besar sebagai respons terhadap keadaan emosional. Hal ini menyiratkan bahwa efek penguat makanan pada keadaan emosional sebelumnya harus terjadi selama proses makan daripada setelah makan. Hal ini serupa dengan temuan bahwa para pecandu cokelat (chocolate addicts) merasa lebih bersalah setelah memakan cokelat (Macdiarmic and Hetherington, 1995).Para pecandu cokelat melaporkan penurunan positif dan pengaruh negatif yang lebih tinggi sebelum makan.
Substansi neuro yang terbukti berpengaruh terhadap makanan adalah dopamin, opioid, dan benzodiazepine. Dopamine memiliki prinsip yang mendasari aspek motivasional dari makan, dimana sistem opioid dan benzodiazepine memengaruhi munculnya rangsangan sensor makanan. Opioid memiliki neuropeptide yang dikeluarkan saat stress, yang dikenal memiliki efek adaptif seperti anti rasa sakit. Bukti dalam penggunaan Opioid adalah interaksi antar mood, stres dan makan, yang melibatkan anak-anak, pencernaan makanan manis dan berlemak, termasuk susu, dan berkurangnya frekuensi anak menangis serta kebiasaan lain yang menunjukan stres. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa orang dewasa lebih memilih makanan manis, berlemak dan makanan yang disukai untuk mediasi opioid sebagai penghilang stres.